Tuesday, January 30, 2018

Shifting Retail?

Pada tahun 2017 lalu seringkali kita mendengar kata shifting. Baik dari transportasi, rumah makan, tiket, samapi ke retail ikut terkena dampaknya. Sebagian ekonom mengatakan perlambatan ekonomi menurun, sebagian lagi membenarkan adanya shifting. Lalu bagaimana kenyataan di dunia retail?
Konvensional ke online.

Terpengaruh oleh oleh shifting pada sector transportasi, perlembatan pertumbuhan di dunia retail dianggap bersumber dari tingginya pertumbuhan belanja online. Ketua Bidang Bisnis dan Ekonomi Asosiasi E-Commerce Indonesia (iDea) Ignatius Untung menyebut transaksi e-commerce mengalami pertumbuhan sebesar 30% sampai 50% pada 2017 dibandingkan dengan tiga tahun laluselain itu dari 2 dari 4 unicorn startup dari Indonesia merupakan marketplace. Namun apakah benar hal ini berdampak signifikan? dilansir warta kota kontribusi belanja online baru 1.4% dari APBN sedangakn retail konvensional sudah mencapi lebih dari 50% "Sekilas terlihat perkembangan e-commerce akhir-akhir ini sangat pesat. CEO Tokopedia, William Tanuwijaya mengatakan Indonesia masih tertinggal dalam transaksi belanja online meskipun ada perubahan pola belanja dari offline ke onlineberdasarkan perkembangan data PWC (Price Waterhouse Coopers), riset mereka tahun kemarin Indonesia sebenarnya kontribusi transaksi e-commerce terhadap total ritel di RI baru satu persen. Artinya, di Indonesia satu dari 100 transaksi sudah dilakukan secara online.
Leisure ekonomi.

BPS menganggap melambatnya pertumbuhan retail modern disebabkan oleh beralihnya pola belanja masyarakat dari membeli barang barang konsumsi menjadi pembelanjaan yang bersifat leisure. Seorang pengamat bernama Yuswohady juga membernarkan hal tersebut  beliau mengutip dari bebrapa pakar bahwa pergeseran pola konsumsi dari non-leisure ke leisure ini mulai terlihat nyata sejak 2015 (Faisal Basri, 2017). Prof Ari Kuncoro dari UI mengidentifikasi pergeseran ini dengan mengungkapkan datadata menarik. Bahwa untuk tahun ini, pertumbuhan belanja makanan/minuman cenderung tetap sekitar 5% Namun PHRI membantah hal tersebut Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia ( PHRI) Hariyadi Sukamdani mengatakan, sejauh ini belum ada lonjakan berarti pada tingkat okupansi hotel.

Lalu apa yang sebenarnya menjadi penyebab dari melambatnya shifting tersebut. Sepertinya perlambtan pertumbuhan memang terjadi karena adanya perlambatan ekonomi terutama pada kalangan menangah kebawah. Tingginya biaya hidup yang bersumber dari naiknya biaya listrik menjadi penyebab masyarakat lebih memilih untuk saving. Sementara itu untuk kalangan menengah keatas tidak berdampak signifikan.  Nielsen menjelaskan penyebab penurunan konsumsi barang rumah tangga karena pelemahan daya beli  pada masyarakat menengah ke bawah. Pelemahan daya beli disebabkan turunnya take home pay dan sebaliknya biaya kebutuhan hidup meningkat.

Penghasilan masyarakat turun karena tak ada kenaikan gaji atau kenaikan yang tak signifikan, juga berkurangnya tambahan pemasukan dari lembur, ketiadaan komisi atau sumber lainnya. Sementara biaya hidup dan pengeluaran meningkat seperti tarif listrik, biaya makanan, dan belanja sekolah.Hal ini bisa dilihat dari pertumbuhan retailer yang menyasar segmen menengah atas masih cukup bagus.

loading...

No comments:

Post a Comment