Pada tahun 2017 lalu seringkali kita mendengar kata
shifting. Baik dari transportasi, rumah makan, tiket, samapi ke retail ikut
terkena dampaknya. Sebagian ekonom mengatakan perlambatan ekonomi menurun,
sebagian lagi membenarkan adanya shifting. Lalu bagaimana kenyataan di dunia
retail?
Konvensional ke online.
Terpengaruh oleh oleh shifting pada sector transportasi,
perlembatan pertumbuhan di dunia retail dianggap bersumber dari tingginya
pertumbuhan belanja online. Ketua Bidang Bisnis dan Ekonomi Asosiasi E-Commerce
Indonesia (iDea) Ignatius Untung menyebut transaksi e-commerce mengalami
pertumbuhan sebesar 30% sampai 50% pada 2017 dibandingkan dengan tiga tahun
laluselain itu dari 2 dari 4 unicorn startup dari Indonesia merupakan
marketplace. Namun apakah benar hal ini berdampak signifikan? dilansir warta
kota kontribusi belanja online baru 1.4% dari APBN sedangakn retail
konvensional sudah mencapi lebih dari 50% "Sekilas terlihat perkembangan
e-commerce akhir-akhir ini sangat pesat. CEO Tokopedia, William Tanuwijaya
mengatakan Indonesia masih tertinggal dalam transaksi belanja online meskipun
ada perubahan pola belanja dari offline ke onlineberdasarkan perkembangan data
PWC (Price Waterhouse Coopers), riset mereka tahun kemarin Indonesia sebenarnya
kontribusi transaksi e-commerce terhadap total ritel di RI baru satu persen.
Artinya, di Indonesia satu dari 100 transaksi sudah dilakukan secara online.
Leisure ekonomi.
BPS menganggap melambatnya pertumbuhan retail modern
disebabkan oleh beralihnya pola belanja masyarakat dari membeli barang barang
konsumsi menjadi pembelanjaan yang bersifat leisure. Seorang pengamat bernama
Yuswohady juga membernarkan hal tersebut beliau mengutip dari bebrapa pakar bahwa pergeseran
pola konsumsi dari non-leisure ke leisure ini mulai terlihat nyata sejak 2015
(Faisal Basri, 2017). Prof Ari Kuncoro dari UI mengidentifikasi pergeseran ini
dengan mengungkapkan datadata menarik. Bahwa untuk tahun ini, pertumbuhan
belanja makanan/minuman cenderung tetap sekitar 5% Namun PHRI membantah hal
tersebut Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia ( PHRI) Hariyadi
Sukamdani mengatakan, sejauh ini belum ada lonjakan berarti pada tingkat
okupansi hotel.
Lalu apa yang sebenarnya menjadi penyebab dari melambatnya
shifting tersebut. Sepertinya perlambtan pertumbuhan memang terjadi karena
adanya perlambatan ekonomi terutama pada kalangan menangah kebawah. Tingginya
biaya hidup yang bersumber dari naiknya biaya listrik menjadi penyebab
masyarakat lebih memilih untuk saving. Sementara itu untuk kalangan menengah
keatas tidak berdampak signifikan. Nielsen
menjelaskan penyebab penurunan konsumsi barang rumah tangga karena pelemahan
daya beli pada masyarakat menengah ke
bawah. Pelemahan daya beli disebabkan turunnya take home pay dan sebaliknya
biaya kebutuhan hidup meningkat.
Penghasilan masyarakat turun karena tak ada kenaikan gaji
atau kenaikan yang tak signifikan, juga berkurangnya tambahan pemasukan dari
lembur, ketiadaan komisi atau sumber lainnya. Sementara biaya hidup dan
pengeluaran meningkat seperti tarif listrik, biaya makanan, dan belanja
sekolah.Hal ini bisa dilihat dari pertumbuhan retailer yang menyasar segmen
menengah atas masih cukup bagus.
loading...
No comments:
Post a Comment